e-KTP vs. KATAPEL

Sudah saatnya dimulai standardisasi total dalam bahasa. Di beberapa negara maju, misalnya di Jepang, standardisasi bahasa sangat terlihat jelas. Istilah-istilah yang akan diterbitkan oleh instansi pemerintahan tertentu selalu berkoordinasi dengan Kementrian Pendidikan Jepang, yang merupakan sentral pengelola bahasa dan budaya. Hal ini dilakukan agar tidak ada pelanggaran kaidah tata bahasa yang dapat menimbulkan kerancuan dan kebingungan dalam berbahasa.

Baru-baru ini, pemerintah Indonesia menerbitkan apa yang dinamakan dengan “e-KTP” atau Kartu Tanda Penduduk elektronik. Bila istilah tersebut ditilik dari sudut pandang bahasa, maka pemilihan nama “e-KTP” masih belum tepat. Sebagaimana kita ketahui, terdapat banyak istilah yang berkenaan dengan kata “elektronik”, misalnya, surat elektronik (“e-mail”), buku elektronik (“e-book”), belanja elektronik (“e-shopping”), dan sebagainya. Akronim yang sudah populer saat ini adalah “surel” yang merupakan kependekan dari “surat elektronik”. Penggunaan kaidah tata bahasa untuk istilah-istilah tersebut sudah tepat, mengingat bahasa Indonesia menganut sistem “DM” (Diterangkan-Menerangkan) dan bukannya MD (Menerangkan-Diterangkan). Pada istilah “surel”, kata “elektronik” menerangkan kata benda “surat” dan kedua-duanya merupakan bahasa Indonesia yang baku.

Namun, coba kita lihat istilah “e-KTP” yang tersusun dari dua kata yang berbeda bentuk dan asalnya. Huruf “e-” merupakan kependekan dari kata “electronic” yang merupakan bahasa Inggris, sedangkan “KTP” merupakan singkatan dari “Kartu Tanda Penduduk” yang tidak mengandung unsur bahasa asing sama sekali. Jelas, sesuatu hal yang membingungkan. Tatkala seseorang ditanya apa kepanjangan dari “e-KTP” maka jawabannya langsung “Kartu Tanda Penduduk elektronik” dan bukannya “electronic Kartu Tanda Penduduk”. Berbeda halnya dengan “electronic mail”, “electronic book” atau “electronic shopping” yang murni bahasa Inggris. Menurut kaidah yang benar, “elektronik” seharusnya ditempatkan setelah kata KTP. Terdapat dua alternatif untuk meluruskan kerancuan istilah ini, yaitu mengubah kata “e-KTP” menjadi “KTPe” (atau KTPE) atau membuat akronim baru, misalnya KATAPEL, yang merupakan kependekan dari “KArtu TAnda Penduduk ELektronik”. Dengan demikian, perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia akan semakin kaya tanpa setengah-setengah, yaitu setengah bahasa Indonesia dan setengah lagi bahasa asing.

Advertisement

Jejaring sosial? Pro dan kontra

Media jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter dll. termasuk aplikasi messanger seperti YM, GTalk, WhatsApp dsb, seyogyanya merupakan alat komunikasi instan dan pembangun jaringan sosial yang positif. Namun demikian, tergantung penggunanya, alat-alat ini juga dapat berdampak negatif bila pengguna tersebut tidak pandai-pandai dalam mengelola apa yang ditulisnya. Berapa banyak orang berpacaran, berselingkuh dan berzina menggunakan sarana ini. Berapa banyak trafficking dan transaksi jual beli barang haram menggunakan sarana ini. Berapa banyak orang yang dituntut, didenda dan dipenjara karena statusnya di Facebook dan Twitter, berapa banyak suami/istri yang bercerai atau saudara/teman/kerabat yang berselisih/berbantah-bantahan dan bahkan memutus silaturrahmi melalui media ini.

Mari kita ingat satu hal: “Apa yang kita tulis, itulah ucapan kita dan cerminan hati kita”. Itulah sebabnya, para pemuka agama memiliki banyak pendapat mengenai media ini. Jika untuk membangun bersilaturrahmi, penyambung kekerabatan antar keluarga yang berjauhan, maka FB merupakan alat yang positif. Untuk berbagi kebahagian (share foto wisata, keluarga, kelahiran bayi, pernikahan dsb) maka FB diperbolehkan. Namun untuk ghibah, mencerca, mencaci, mencemooh, menyindir, mengadu domba, beropini negatif (apalagi dengan orang yang tidak pernah berinteraksi secara langsung), chat dengan lawan jenis (apalagi yang sudah bersuami/isteri), nge”like” foto bukan muhrim, upload foto tidak senonoh maka jelas-jelas merupakan hal yang tidak diperbolehkan.

Sedemikian pesatnya perkembangan teknologi digital, telah menggantikan semua yang manual. Sedemikian besar antusiasme peminat dan pengguna, beberapa media jejaring sosial pun telah banyak mengeluarkan “Syarat dan Ketentuan” yang lebih ketat. Para developer sudah mulai cuci tangan dengan aplikasi yang mereka bangun, agar terhindar dari dampak yang terjadi bila media ini dijadikan tempat silang sengketa dan tindak kriminal.

Dahulu banyak orang dikurung dalam jeruji besi karena goresan pena di atas kertas atau buku. Sekarang, kita ingat kasus Prita Mulyasari yang sempat mendekam di penjara karena tulisannya di milis terkait RS Omni Internasional…Opininya dianggap serius oleh pihak tertentu, meskipun pernyataan Prita bukan di atas kertas bermaterai. Dahulu orang ditangkap karena ucapan yang didengar oleh saksi. Kini banyak pengadilan yang menghadirkan bukti-bukti percakapan berupa SMS, rekaman telepon, instant messenger, FB, Twitter dsb. Saking seriusnya, ada perusahaan yang membuat film dengan judul “Setan Facebook” Kita jangan lihat para pemain atau alur ceritanya yang gak jelas, tapi makna yang disampaikan film tersebut. Bagaimana seseorang bisa gantung diri setelah pernikahan dengan tunangannya dibatalkan, gara-gara seseorang iseng menulis status di dinding (wall) nya.

Intinya, ayo kita gunakan media jejaring sosial ini dengan baik. Sesuatu yang instan akan menghasilkan akibat yang instan pula.

Bahasa dan maknanya

Bahasa memang bukan sesuatu hal yang istimewa. Manusia mempelajari bahasa secara alamiah. Saat dilahirkan, seorang bayi hanya bisa menangis untuk mengomunikasikan apa yang dipikirkan dan dirasakan. Ya, memang “pikiran” dan”perasaan” dianugerahkan Tuhan semenjak manusia lahir ke dunia. Dan “bahasa” merupakan wujud konkrit dari ungkapan perasaan. Selama ini, banyak orang yang mengartikan bahasa dalam lingkup yang sempit. Apa yang diucapkan dan keluar dari lisan, entah dia orang Indonesia, Amerika, China, Prancis, Jepang dan sebagainya, itulah yang dinamakan “bahasa”, sehingga pertanyaan yang sering terdengar adalah “Kamu bisa bahasa apa?” atau “Berapa bahasa yang kamu kuasai?”. Padahal sebenarnya, bahasa bukan hanya yang diucapkan tetapi juga yang diungkapkan melalui berbagai cara untuk menyampaikan sesuatu dari satu individu ke individu lain. Sebagai contoh, “bahasa isyarat”, “bahasa tubuh”, “bahasa sandi” dan masih banyak lagi jenisnya. Beberapa kamus asing menyajikan definisi “bahasa” dalam serangkaian kata yang berbeda tetapi memiliki esensi yang sama. Berikut petikan dari Canadian Oxford Dictionary:

Language (noun):
1. The method of human communication, either spoken or written, consisting of the use of words in an agreed way.
2. The language of a particular community or country etc. (speaks several languages).
3. Any method of expression (body language; sign language).
4. a) the faculty of speech;  b) a style or the faculty of expression; the use of words, etc. (his language was poetic; hasn’t the language to express it);  c) (also bad language) coarse, crude, or abusive speech (didn’t like his language).
5. A system of symbols and rules for writing computer programs or algorithms.
6. A professional or specialized vocabulary.
7. Literary style.

Sekarang, coba bandingkan definisinya dengan yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-4 (2008) berikut:

1ba·ha·sa n 1 Ling sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2 percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun: baik budi — nya;

Definisi untuk lema “bahasa” tersebut kelihatannya memang singkat dan sederhana, tetapi bila kita melihat sublemanya akan terkesan lebih spesifik dan disesuaikan dengan konteks atau bidang yang dituju. Memang terlihat panjang lebar tetapi lebih mudah dipahami khususnya oleh orang awam.

Jadi, kalau mau sedikit nyeleneh, pertanyaan yang tadi saya sempat munculkan di atas harusnya dibuat lebih spesifik. Misalnya, “Kamu bisa bahasa negara apa?” atau “Berapa bahasa negara yang kamu kuasai?”. Sebab bila tidak demikian, bisa dibayangkan jika seorang programmer ditanya bisa bahasa apa saja oleh orang yang baru ia kenal, maka jawabannya mungkin akan sedikit melenceng: “Saya bisa bahasa Java, PHP, Phyton, SQL, dll…” Jawaban seperti itu mungkin saja akan membingungkan si penanya, karena yang dimaksud adalah bukan bahasa pemrograman tetapi bahasa yang dituturkan oleh suatu bangsa tertentu.